Mata Kuliah : Filssafat Islam
MAKALAH
ANTROPOLOGI ISLAM
Disusun Oleh :
v Djariadin Ronalko
v Khaeria La Turi
v
Ralimun (Integrasi)
Semester :
V (Lima)
Dosen
Pembimbing
Muh. Ridwan, S.Ag.,MA
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
PRODI PEND.AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH BUTON
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antropologi
Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang
menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga Antropologi
Religi. Meskipun ada yang berpendapat ada perbadaan pengerian antara
Antropologi Agama dengan Antropologi Religi, namun keduanya mengandung arti
adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib. Keduanya juga
menyangkut adanya buah pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya
dengan kekuasaan yang tidak nyata.
Buah pikiran
dan perilaku manusia tentang keagamaan dan kepercayaannya itu pada kenyataannya
dapat dilihat dalam wujud tingkah laku dalam acara dan upacara-upacara tertentu
menurut tata cara yang ditentukan dalam agama dan kepercayaan masing-masing.
Dengan demikian Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam teologi
(Ilmu Ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki Wahyu Tuhan.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam
sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas
keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam
dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada
interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat
diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga
sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang
belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang
disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka
"desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam
arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal
dalam peraturan dunia global. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat
langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan
makna yang lain.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi
kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal.
Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama
secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek
social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat
diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan
kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal
ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris
adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama
tidak akan menjadi sempurna.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama
sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci
sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga
worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter
dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun
estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus
bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping
itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh
manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk
karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran
realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian
Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam.
Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian
Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan
gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian antropologi dan
sosiologi agama ?
2. Apa pendekatan-pendakatan dalam
memahi antropologi ?
3. apa saja metode metode dalam
antropologi agama ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian antropologi dan sosiologi agama.
2.
Untuk mengetahui pendekatan-pendakatan dalam memahi
antropologi.
3. Untuk mengetahui metode metode dalam antropologi agama.
BAB II
PEMBAHASAN
ANTROPOLOGI ISLAM
A.
Pengertian
Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis
tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang
Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa
yang dikenal di Eropa.
Antropologi
berasal dari kata anthropos yang berarti manusia, dan logos yang
berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial.
1.
Definisi
Antropologi dan Sosial Menurut Pandangan Islam
a.
Pendekatan
Sosiologi
Sosiologi dalam pengertian secara luas adalah ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat dan gejala sosial yang terjadi di masyarakat.Sosiologi sebagai anak
kandung modernitas lahir dalam rangka memahami kehidupan sosial dan bagaimana
orang bertindak di dalamnya.
Pendekatan sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam memahami
ajaran agama karena banyak dari kajian agama yang hanya dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan pendekatan sosiologi. Dalam buku
“Islam Alternatif” karangan Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa Islam begitu
memperhatikan masalah sosial, yang dibuktikan dalam hal-hal berikut:
1) Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
antara ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut
kehidupan sosial adalah 1 : 100 (satu berbanding seratus).
2)
Ditekankannya masalah muamalah
(sosial) dalam Islam adalah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah waktunya
bersamaan dengan urusan muamalah, maka muamalah lebih dipentingkan. Akan tetapi
bukan berarti ibadah ditinggalkan.
3)
Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan
ganjarannya lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perorangan. Contohnya
saja sholat berjama’ah yang lebih banyak ganjarannya 27 derajat.
4)
Dalam Islam bila dalam urusan
ibadah itu dilanggar atau tidak sempurna maka dendanya/takzirnya adalah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Salah satu contoh
ialah apabila tidak kuat puasa maka menggantinya dengan memberi makan beberapa
fakir miskin.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan sosiologi merupakan alat yang
cukup efisien dalam memahami dan mempelajari studi Islam. Adapun yang perlu
diperhatikan dalam mempelajari studi Islam melalui pendekatan sosiologi,
terletak pada fungsinya di dalam masyarakat.
Dilihat dari fungsinya dalam kehidupan manusia, agama dituntut untuk dapat
merumuskan kembali (rekonstruksi) pemikiran-pemikirannya secara jelas dan
sistematis agar dapat memanusiakan manusia agar lebih terarah.
Secara kuantitas setiap pemeluk agama Islam dituntut untuk mempunyai
kesadaran sendiri dalam menentukan atau memilih agama yang dianutnya, yaitu
dengan cara terlebih dahulu melakukan analisa dan kajian terhadap agama yang
menjadi pilihannya. Tetapi kenyataan itu hanya dilakukan oleh kaum intelektual
saja sedangkan kaum awam hanya sebagian kecil yang mempunyai kesangupan
tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa agama Islam mempunyai kualitas yang
bagus tetapi penganutnya kurang atau bahkan tidak mempunyai kualitas. Cukup
mengenaskan bukan?
Oleh karena itu studi Islam dalam
endekatan sosiologi dipandang sangat penting untuk tercapainya pemahaman secara
luas dan menyeluruh (kafah) terhadap studi Islam. Hal ini dilakukan
khususnya agar masyarakat awam juga dapat menerapkan studi Islam dengan berkualitas.
b.
Pendekatan Antropologi
Antropologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri adalah hasil kegiatan
dan penciptaan batin manusia.
Pendekatan antropologi dalam memahami studi Islam dapat dilihat dengan
wujud praktik/ritual keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Pendekatan antropologi dalam studi Islam maksudnya adalah pendekatan secara
wajar yang digunakan dalam melakukan penelitian pendekatan budaya yang tidak
menyalahi norma-norma yang berlaku dalam agama Islam. Islam tidak akan menerima
begitu saja jenis pendekatan-pendekatan antropologi dalam memahami dan
menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, karena Islam bersifat selektif.
Antropologi sebagai pendekatan
dalam mempelajari studi Islam dapat diklarifikasikan menjadi beberapa bagian
diantaranya:
1) Pendekatan antropologis fenomenologis; pendekatan ini dapat melihat
hubungan antara agama dan negara.
2)
Pendekatan antropologis yang
kaitannya antara agama dengan psikoterapi.
3) Pendekatan antropologis yang kaitannya antara agama dengan mekanisme
pengorganisasian.
Dalam pengklarifikasian di atas, jelas bahwa agama sangat erat kaitannya
dengan cabang-cabang ilmu antropologi, sehingga dalam hal ini agama dapat
melakukan hubungan secara fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan
manusia.
Melalui pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan
fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak pernah berdiri sendiri, antropologi
berupaya untuk dapat melihat hubungan antara agama dengan berbagai fenomena
sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama
dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik.
Adapun metode yang digunakan
melalui pendekatan antropologi adalah metode holistik, artinya dalam melihat
suatu fenomena sosial harus diteliti dalam konteks totalitas kebudayaan
masyarakat yang dikaji. Sedangkan teknik pengumpulan datanya menggunakan metode
observasi dan wawancara mendalam (terjun langsung ke dalam masyarakat).
B.
Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama
Kajian Empirik
Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama
akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan
(beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi
untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat.
Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris,
mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas
agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan
agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang
perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia
merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru
Sufi mereka. Tidak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat
menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya,
dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu
terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan
bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan
keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi
berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai
sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan
agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang
meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha
manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula
usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat,
menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem
yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih
dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam
menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan
sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini
mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan
agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian
tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan
dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam
perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu
menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini
seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan
betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga
ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya
dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana.
Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang
modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang
berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat
dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist,
functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali
dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk
melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat
perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam
tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama
sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural.
Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini
menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme
sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini
kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju
monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala
seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain.
Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme
dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam
kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme
kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis,
sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of
the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat
buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang
diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured
dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim
menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi
antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan
pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam
agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang
sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu,
Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai
sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka
society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial
yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para
antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam
masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus
mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban
hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam
bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam
masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss
kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran
sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam
masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris.
Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan
equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para
antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut.
Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi
sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari
perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi
agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap
permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common
sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.
Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya,
manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika
sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini
menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan
rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar
agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan
di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol
dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai
pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji
sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah
yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade
70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara
eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai
makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk
mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan
pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di
masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang
dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual
bagi masyarakat
Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik
keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama
cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah
ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting.
Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di
antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat
seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang
perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai
sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai
medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat
ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai
simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga
tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi
Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari
pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis
dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara
doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan
politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan
definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama.
Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan,
khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan
minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan
kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam
tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang
diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter
buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti
oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N.
Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama
dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang
pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber.
Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya
suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi
perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas
menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam
pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada
argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat
berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam
kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam
kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal
yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka
sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama.
Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi.
Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia
adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya
adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan
sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini
terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian
antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat
dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an
seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan.
Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada
konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan
kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan
Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu
termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep
agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah
realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia
adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia,
dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas
empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam
budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas
universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya
manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya
adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.
C.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan
tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, "Religion as a
Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan
Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada
teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori
fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian
agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang
mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang
menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan
bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter
masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru,
tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system
of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods
and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions
with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely
realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan
ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure
yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik.
Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan
suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya
diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu.
Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia
merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of
reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem
yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu
sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti
tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The
Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita
bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java
memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga
bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik
maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin
melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan
kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari
interaksi dengan budaya lokal.
D.
Pendidikan Islam Dalam Pendekatan Antropologi
Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami
sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih komprehensif. Antropologi
pertama kali dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam rangka penyebaran agama
Nasrani dan bersamaan dengan itu pula berlangsung sistem penjajahan terhadap
negar-negara diluar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan
sebagai suatu hal untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi
antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di
negara-negara yang masuk dalam kategori Negara ketiga (Negara berkembang)
sangat urgen sebagai “pisau analisis” untuk pengambilan kebijakan (policy)
dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang cakupan
studinya cukup luas, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu
menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna dan global. Sehingga,
antropologi terfregmentasi menjadi beberapa bagian yang masing-masing ahli
antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi bidangnya masing-masing.
Pada dataran ini, antropologi menjadi amat plural, sesuai dengan perkembangan
ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih memahami
sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih komprehensif. Dan
hubungan dengan ini pula, ada bermacam-macam antropologi seperti antropologi
ekonomi, antropologi politik, antropologi kebudayaan, antropologi agama,
antropologi pendidikan, antropologi perkotaan, dan lain sebagainya. Grace de
Raguna, seorang filsuf wanita pada tahun 1941, menyampaikna pidatonya dihadapan
American Philosophical Association Eastern Division, bahwa antropologi
telah memberi lebih banyak kejelasan tentang sifat manusia daripada semua
pemikiran filsuf atau studi para ilmuwan di laboratoriumnya.
Dan dalam studi kependidikan yang dikaji
melalui pendekatan antropologi, maka kajian tersebut masuk dalam sub
antropologi yang bias dikenal menjadi antropologi pendidikan. Artinya apabila
antropologi pendidikan dimunculkan sebagai suatu materi kajian, maka yang objek
dikajiannya adalah penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para
antropolog serta pengetahuan yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan
kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, kajian materi antropologi
pendidikan, bukan bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan
menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi.
Meskipun berkemungkinan ada yang menjadi antropolog pendidikan setelah
memperoleh wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana
kedudukan antropologi pendidikan sebagai sebuah disiplin studi yang tergolong
baru di tambah kata “Islam” sehingga menjadi “antropologi pendidikan Islam”.
Hal ini telah menjadi sorotan para ahli pendidikan Islam, bahwa hal tersebut
merupakan suatu langkah yang ada relevansinya dengan isu-isu Islamisasi ilmu
pengetahuan. Dengan pola itu, maka antropologi pendidikan Islam tentunya harus
dikategorikan “sama” dengan ekonomi Islam. Artinya bagaimana bagunan keilmuan
yang ditonjolkan dalam ekonomi Islam muncul juga dalam dalam antropologi
pendidikan Islam, sehingga muncul pula kaidah-kaidah keilmiahannya yang
bersumber dari kitab suci Al Qur’an dan dari As Sunah. Seperti dalam ekonomi
Islam (juga Hukum Islam) yang sejak awal pertumbuhannya telah diberi contoh
oleh Nabi Muhammad dan diteruskan oleh para sahabat. Maka antropologi pendidikan
Islam, kaidah-kaidah keilmiahannya harus juga bersumber atau didasarkan pada Al
Qur’an dan As Sunah. Akan tetapi dalam sejarah kebudayaan Islam belum ada
pengakuan terhadap tokoh-tokoh atau pelopor antropologi yang diakui dari zaman
Nabi Muhammad atau sesudahnya.
Karakteristik dari antropologi pendidikan
Islam adalah terletak pada sasaran kajiannya yang tertuju pada fenomena
pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI).
Pendidikan Agama Islam arahnya dari atas ke bawah, artinya sesuatu yang
dilakukan berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan
hidup anak didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah
ke atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam mendidik anak, agar anak dapat
membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi kemampuannya
untuk menghadapi lingkungan. Masalah ilmiah yang mendasar pada Pendidikan Agama
Islam adalah berpusat pada bagaimana (metode) cara yang seharusnya dilakukan.
Sedangkan masalah yang mendasar pada antropologi pendidikan Islam adalah
berpusat pada pengalaman apa yang ditemui.
Ibnu Sina, yang kita kenal sebagai tokoh
kedokteran dalam dunia Islam ternyata juga merupakan sorang pemerhati
pendidikan anak usia dini yang merupakan pengalaman pertama anak. Dalam
kitabnya al-Siyasah, Ibnu Sina banyak memaparkan tentang pentingnya
pendidikan usia dini yang dimulai dengan pemberian “nama yang baik” dan
diteruskan dengan membiasakan berperilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang
baik serta pujian dan hukuman dalam mendidikan anak. Dan juga yang paling urgen
adalah penanaman nilai-nilai sosial pada anak seperti rasa belas kasihan
(confession) dan empati terhadap orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita
arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya
mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian
tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar
Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh
dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru
globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana
manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya
pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang
tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti
digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh
Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam
mengetahui tentang Tuhan.
Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak
akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak
berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas
ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam
mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan
realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama
itu sendiri.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis senantiasa dengan lapang dada menerima
bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan makalah berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme
Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Ahmad, Akbar S, Kearah Antropologi Islam, Jakarta:
Media Da’wah
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi Dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu. 2002.
Hoselitz, Bets F, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta:
CV. Rajawali, 1988
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi Dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. 2004.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
Aksara Baru, 1980
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, Bandung:
PT. Erosco, 1993
Noto Abuddin,, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Sulaeman, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung:
PT. Erosco, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar