KATA PENGANTAR
Puji
syukur penyusun telah panjatkan atas kehadirat Alloh Ta’ala, sang Pencipta alam
semesta dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan
rahmat, taufik, serta inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
“al-Kindi sebagai peletak dasar filsafat Islam” yang sederhana ini.
Maksud
dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salasatu
dari sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Islam serta merupakan
bentuk langsung tanggung jawab penyusun pada tugas yang diberikan. Pada
kesempatan ini, penyusun juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dosen Filsafat Islam.
Demikian
pengantar yang dapat penyusun sampaikan, dimana penyusun pun sadar bahwasanya
penyusun hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Ta’ala hingga dalam
penulisan dan penyusunan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun terima sebagai upaya
evaluasi diri.
Akhirnya
penyusun hanya bisa berharap, bahwa dibalik tidak kesempurnaan penyusunan dan
penyusunan makalah ini adalah ditemukan suatu yang dapat memberikan manfaat
atau bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa Unismu
Buton.
Pasarwajo, 25
November 2014
Penyusun
Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat
merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu
secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri
adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam
yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan
sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh
para filosof Islam.
Ketika
filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam pemahaman kita adalah
beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini
memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal
filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Adapun yang
akan dibahas di dalam makalah ini adalah tokoh filsafat muslim yang bernama,
Al-kindi. Alasannya adalah karena tokoh tersebut merupakan peletak dasar
dalam filsafat islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapa Al-Kindi ?
2. Bagaimana
Definisi filsafat menurut Al-Kindi ?
3. Bagaimanakah teori serta pemikiran Al-Kindi ?
4. Bagaimana
Kenabian menurut Al-Kindi ?
5. Bagaimana studi kritis terhadap pemikiran Al-Kindi ?
C.
Tujuan Penulis
1. Untuk mengetahui Biografi Al-Kindi.
2. Untuk mengetahui
definisi filsafat menurut Al-Kindi.
3. Untuk mengetahui Teori Pengetahuan dan Pemikiran Al-Kindi.
4. Untuk mengetahui
Kenabian menurut Al-Kindi.
5. Untuk mengetahui Studi Kritis
tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al-Kindi
Al- Kindi
bin Ishaq atau nama legkapnyaAl-Kindi bin Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq
Al-Kindi ialah ilmuan dan filosof besar Islam yang hidup pada masa
kekhalifahaan Bani Abbasiyah. Ia lahir pada 809 M dan wafat pada 873M. Ia masih
keturunan suku Kindah, sebuah suku besar di Arab Selatan pada masa sebelum
Islam. Keluarga Al-Kindi adalah keluarga terhormat dengan status sosial tinggi.
Ayahnya pernah menduduki jabatan sebagai gubernur Kufah pada masa Khalifah
Al-Mahdi(775-778M) dan Khalifah Ar-Rasyid(786-809M).
Dunia
mengenal Al-Kindi sebagai penggerak dan pengembang ilmu pengetahuan. Hal ini
karena karya dan pemikiran Al-Kindi meliputi bidang yang sangat luas dan
beragam. Hampir setiap bidang keilmuan, pasti ada karya Al-Kindi yang membahas
Atau mengulasnya. Pada awalnya, Al-Kindi belajar di Bashrah, sebuah kota di
Iraq yang menjadi pusat pengetahuan dan pergunulan intelektual dunia, namun
demikian ia kemudian menamatkan pendidikannya di Bagdad.
Di kota yang
kini menjadi Ibu kota Iraq modern tersebut, Al-Kindi berkenalan dengan para
pangeran Abbasyiah, seperti Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim. Lalu Al-Kindi diangkat
menjadi guru pribadi Ahmad, putra Al-Makmun yang darinya ia memperoleh dukungan
kuat untuk melahirkan karya-karya besar dibidang ilmu pengetahuan.
Al-Kindi
hidup selama pemerintahan Bani Abbasyiah, yaitu Al-Amin (809-813M),
Al-Ma’mun (813-833M), Al-Mu’tasim (833-842M),
Al-Watsiq (842-847M), dan Al-Mutawakil (847-851M).
Selama kurun waktu itu, Al-Kindi banyak melahirkan karya dibidang filsafat,
matematika (geometri), agama, asrtonomi, logika dan kedokteran. Diantara karya
al-Kindi yang turut meramaikan dunia pengetahuan adalah Risalah fi masail
suila anha min ahwal al-kawakib (jawaban dari pertanyaan-pertanayaan
planet), risalah fi mathrah asy-syu’a (tentang projeksi sinar), dan risalah
fi idhah ‘illat ruju’ al-kawakib (tentang penjelasan sebab gerak ke
belakang planet-planet). Dari sekian banyak ilmu ia sangat menghargai
matematika, hal ini disebabkan matematika bagi Al-Kindi, adalah mukadimah bagi
siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukadimah ini sangat penting
sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat
tanpa terlebih dahulu menguasai matematika. Matematika disini meliputi ilmu
tentang bilangan, harmoni, geomeri, dan astronomi. Tetapi yang paling utama
dari seluruh cakupan matematika disini adalah ilmu bilangan atau aritmatika
karena jika bilangn tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun.
Ia adalah
filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf muslim pertama. Diantara
Kelebihan Al-Kindi adalah Menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum muslimin
setelah terlebih dahulu meng islamkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang
ada.
B.
Definisi
Filsafat Al-Kindi
Al-kindi
menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang
menjadi miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat
terdahulu, itu pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin dengan
menyebut berbagai macam definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang
sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada, tidak hanya pada salah
satunya. Hal ini berarti bagi al-kindi, bahwa untuk memperoleh pengertian
lengkap tentang apa filsafat itu harus memperhatikan semua unsur yang terdapat
dalam semua definisi tentang filsafat. Definisi-definisi al-kindi sebagai
berikut:
1. Filsafat
sendiri terdiri dari gabungan dua kata, philo, sahabat dan Sophia,
kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini
berdasar atas etimologi yunani dari kata-kata itu.
2. Filsafat
adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi
fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
3. Filsafat
adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa
dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh
karenanya, banyak orang bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah
suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional, yang bertitik
tolak pada segi tingkah laku manusia pula.
4. Filsafat
adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala
kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
5. Filsafat
adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitikberatkan pada
fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri. Para
filosof berpendapat bahwa manusia adalah badan. Jiwa dan aksedensial manusia
yang mengetahui dirinya demikian itu berarti mengetahui segala sesuatu. Dari
sinilah para filosof menamakan manusia sebagai mikrokosmos.
6. Filsafat
adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh
(umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari
sudut pandang materinya.
Dari
beberapa definisi yang amat beragam diatas, tampaknya al-kindi menjatuhkan
pilihannya pada definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu
sebagai upaya mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-kindi, filosof adalah
orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang
diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup
adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang
kebenaran, tetapi di samping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan
dari kebenaran itu. Filosof yang sejati adalah yang mampu memperoleh
kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut terakhir
menunjukkan bahwa konsep al-kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara
konsep Socrates dan aliran stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya
dengan moralita Al-kindi menegaskan juga bahwa filsafat yang paling tinggi
tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa
dari pada semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Filosof yang sempurna dan
sejati adalah yang memiliki pengetahuan tentang yang paling utama ini.
Pengetahuan tentang kausa (‘illat) lebih utama dari pengetahuan tentang akibat
(ma’lul, effect). Orang akan mengetahui tentang ralitas secara sempurna jika
mengetahui pula yang menjadi kausanya.
C.
Teori Pengetahuan dan Pemikirannya
1. Konsep Etika
Dalam hal
ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita
filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh
dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah
agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu
sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan
jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup
lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti
meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan
yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki
keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar
dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah : keahuilah
keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi
berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi
yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam
jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu
dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
a) Kebijaksanaan
(hikmah) yaitu keutamaan daya pikir;
bersifat teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara
hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
b) Keberanian (nadjah)
ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat
yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai
sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
c) Kesucian (iffah)
adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan
memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
Kedua keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa,
tetapi merupakan
hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan
itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakan padanannya adalah penganiayaan.
2. Talfiq (Integrasi
Agama dengan Filsafat)
Al-Kindi
berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya
filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an
yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu
mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari
filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama
dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari
keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga
mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat
dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat
yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan
demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping
itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat
untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita
harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak
ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu
sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang
mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika
diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan
orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran
terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan
apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini
menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena
hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
perbedaaan antara keduanya, yaitu:
·
Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof
dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati
tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya
diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
·
Jawaban filsafat menunjukan ketidak-pastian ( semu )
dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya
yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan
mutlak.
·
Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama
mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun
Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak
mendewa-dewakan akal.
3. Jiwa
Untuk
mengenal, mengetahui serta memahami teori pengetahuan Al-Kindi, maka kita harus
melihat bagaimana pandangannya mengenai jiwa dan ruh. Menurut Al-Kindi,
substansi ruh adalah sederhana (tidak tersusun) dan kekal. Ia memiliki arti
yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna dan mulia karena
subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari.
Jiwa menurut
al-Kindi, adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa
saat lamanya kemudian melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang
substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya
adalah limpahan dari substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan
matahari. Sekalipun ia bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan
independen dari tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa
meninggalkan tempat tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan
dunia intelek dan bersatu dengannya.
Meskipun
begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh mereka yang tertarik pada
kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak semua jiwa akan bergabung
kembali dengan dunia akal yang ada di seberang langit. Bagi orang yang hidupnya
tenggelam dalam kontemplasi dan tidak mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia
adalah orang bajik yang mengharapkan kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa
inilah yang langsung bergabung dengan dunia intelek begitu ia terlepas dari
penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan
jasmani maka jiwanya akan mengalami penyucian terlebih dahulu secara bertahap
dengan singgah lebih dulu di bulan, Merkuri, dan planet-planet lain sehingga
jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa ke dunia akali.
Al-Kindi
membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah
(irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational).
Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan
mengibaratkan daya berpikir sebagi sais kereta dan dua kekuatan lainnya
(pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yangmenarik kereta tersebut. Jika
akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat
dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh
dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing
dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka
diibaratkan sebagai raja.
Sekalipun
ketiga daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun
al-Kindi sering kali hanya merujuk daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan
dengan kemampuan jiwa, sedang daya appetitive dan irascible ada semata-mata
untuk pertumbuhan dan pelestarian (jiwa) hewani yang berkaitan dengan badan (wadag),
sementara yang pertama demi membantu penyempurnaannya. Sehingga, tidak
mengherankan ketika ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan
manusia adalah sebagai pengatur keinginan hawa nafsu, ia gunakan untuk
membedakan jiwa dari badan. Bagi al-Kindi, badan memiliki hawa nafsu dan sifat
pemarah sedang jiwa menentangnya. Jelas, antara yang menentang dan yang
ditentang tidak sama. Dengan perantara ruhlah manusia mempunyai pengetahuan
yang sebenarnya. Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah
merujuk pada daya berpikir atau rational faculty.
Ketidaksistematisan
pembahasan al-Kindi tentang jiwa sering kali menjebak bagi orang yang
mempelajarinya karena disamping ketiga daya jiwa di atas, al-Kindi juga masih
menyebut kemampuan-kemampuan lain dari jiwa ketika ia bicara tentang pengetahuan
manusia dilihat dari cara mendapatkannya. menurut al- Kindi, di alam terdapat
benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan
partikular. Sementara, yang penting bagi filsafat ialah hakikat yang terdapat
dalam partikular tersebut, yaitu universal. Tiap-tiap benda memiliki dua
hakikat, partikular/ juz’iyyah/ aniyah dan universal/ kulliyah/
mahiyah. Karena itu, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua: pengetahuan
panca indera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang
lahir-lahir saja. Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya
diperoleh kalau manusia mampu melepaskan sifat kebinatangan dalam dirinya.
Dengan kata lain, ia harus meninggalkan dunia dan berfikir serta konsentrasi
tentang wujud. Ketika jiwa sudah terbebas dari belenggu materi dan senantiasa
berpikir dan konsentrasi tentang hakikat wujud, maka ia menjadi suci dalam
keadaan ini, ia akan mampu menangkap ilmu-ilmu yang memancar dari Tuhan karena
ia sendiri adalah pancaran dari substansi Tuhan. Ia ibarat cermin yang mampu
menangkap gambar-gambar yang ada di depannya.
Pengetahuan
indrawi berkaitan dengan objek-objek lahir. Sebagaimana objek lahir,
hasil dari tangkapan indrawi selalu berubah-ubah. Tindakan pengindraan ini
menghasilkan formasi bayang-bayang tertentu dalam kecakapan membayangkan (representative
faculty), dan bayang-bayang ini kemudian dimasukkan ke dalam kecakapan
menyimpan (retentive faculty) sebagai tindak pemeliharaan, dan dengan
begitu diperoleh tingkat keabadiaan tertentu. Sementara, objek pengetahuan
rasional bersifat universal dan imateriil yang kebenarannya diambil dengan cara
menyimpulkan secara logis dan niscaya dari prinsip pengenalan pertama yang
diketahui secara intuitif, seperti “keseluruhan adalah lebih besar dari
sebagian”. Di samping itu, objek pemikiran rasional juga berkaitan dengan
bentuk-bentuk yang dicapai abstaksi objek-objek indrawi.
Akal
memiliki analogi tertentu dengan penginderaan dalam dua hal. Satu,
melepaskan bentuk-bentuk objek akali. Dua, menjadi identik dengan objek dalam
tindkan berpikir. Al Kindi membedakan empat pengertian akal:
a) Akal yang
berada dalam potensialitas atau akal potensial atau materiil
b) Akal yang
telah berubah dari potensialitas ke aktualitas atau akal habitual atau habitual
without practicing,
c) Akal manifes
atau habitual with practicing,
d) Akal yang
selalu aktual atau Akal Aktif atau agent.
Ketika jiwa
memahami bentuk-bentuk akali yang tidak berhubungan dengan materi dan
bayang-bayang imajinasi, ia akan menjadi sama dengan bentuk-bentuk itu dan akal
kemudian beralih dari potensialitas ke aktualitas. Dalam proses peralihan ini,
bentuk-bentuk akali berperan sebagai sebab efisien karena kalau tidak,
peralihan ini tidak akan terjadi. Dipandang dari aktualitas bentukbentuk akali,
bentuk-bentuk ini identik dengan akal aktif karena dalam tindakan pengenalan,
perbedaan antara akal dengan objeknya sama sekali tidak ada. Dilihat dari sudut
pandang jiwa yang berusaha untuk memahami, bentuk-bentuk ini dapat disebut
dengan akal perolehan (akal mustafad), selama jiwa memperoleh
bentuk-bentuk ini dari akal aktif. Bila jiwa telah memahami bentuk-bentuk ini,
maka ia dapat dipandang mempunyai kemampuan untuk melepaskan
bentuk-bentuk itu semuanya dan dalam kasus ini pengenalan bersifat habitual
atau dari potensialitas ke aktualitas ketika jiwa terlibat benar-banar dalam
merenungkan bentuk-bentuk akali dan mempraktikkannya kepada yang lain maka
pengenalannya bersifat manifes. Dengan kata lain, akal manifes mengacu pada
tingkat kedua aktualitas yang membedakan antara aktualitas pertama yang hanya
memiliki pengetahuan dan aktualitas kedua yang mempraktikkannya. Tidak
mengherankan jiwa penyebutan akal manifes ini beragam. M.M. Syarif, misalnya
menyebutnya dengan “akal yang kedua”, sedangkan George N. Atiyeh menyebutnya
dengan “ akal budi sekunder”, dan C.A. Qadir menyebutnya dengan “ akal habitual
yang dipraktikkan.
Pembagian
objek ke dalam materiil dan imateriil ini sesuai dengan pembagian filsafat ke
dalam fisika dan metafisika. Entitas yang jatuh ke dalam separo jarak antara
materiil dan materiil di satu sisi ia imeteriil, tetapi di sisi lain ia dapat
dengan mudah berhubungan dengan materi yaitu jiwa.
Tiap-tiap
ilmu berkaitan jenis pembuktian khusus. Dalam metafisika dan matematika kita
mencari demonstrasi (Burhan), sementara dalam ilmu-ilmu yang lebih
rendah seperti fisika, retorika dan sejarah kita mencari pengakuan, representasi,
konsensus atau persepsi indriawi. Kerancuan akan ditemui pada penerapan metode
yang salah terhadap persoalan pokok.
Bagi
al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu
atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan
wahyu. Filsafat harus sama sekali tidak mengajukan tuntunan sebagai jalan
tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi
wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu
sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas
mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat
mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka dan kehidupan akhirat. Dalam
semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio,kebangkitan
jasmani, mukjizat keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia.
Tentang
jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan
mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan
sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat
spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai
sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling
berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi
tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan
pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan
pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang
pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena
jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan
jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya
jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal
dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya
bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah
qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan.
4. Moral
Menurut
Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa
sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk
diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam
para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof
yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi,
tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi
prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara
wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
D.
Kenabian
Menurut Al-Kindi
Tentang
kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi
manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam
ghaib dan ketuhanan melalui wahyu. Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk
alam ghaib yang sempurna seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia
biasa.
Keterbatasan
pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan
keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang
dicapai oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya
pula dapat diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan
kepada nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi
kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof.
E.
Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah
filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan
Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah
Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat
waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan
dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani
dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih
mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan
para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di
dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani
memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis
hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan,
disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran
Islam.
Jika kita
mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya
tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih
membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi
yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai
ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak
pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik
adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang
sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan tidak mungkin
beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut
Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama
keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab
lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya
akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap
fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin
kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun
tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan
diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi
dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh
setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada
kotoran unta jika tidak ada untanya. Namun ketika ia melampaui batas
jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah
ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh
makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat
penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan
berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun
mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian
bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak
lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan
logika sebagai justifikasinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah
intelektual di dunia Islam yang mana sumbangannya tidak bisa dipungkiri, tetapi
disisi lain, filsafat juga dianggap unsur luar yang mengacak-acak ajaran Islam.
Bisa jadi, ini karena watak filsafat itu sendiri. Filsafat, apapun nama dan
bentuknya, adalah keberanian untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang
dalam pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Watak “subversif” filsafat
ini juga bisa juga ditemukan dalam filsafat islam.
Kita ketahui
bersama bahwasanya filsafat di bagi atas beberapa periode, periode pertama yang
merupakan awal munculnya filsafat yaitu berasal dari Yunani, karena di sana
terdapat beberapa orang yang cenderung menggunakan otak sebagai landasan
berpikir. Tokoh –tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristotales. Periode kedua yang
merupakan masa pertengahan adalah filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai
berkembang pada masa al-Kindi, yang mana menurut Sulaiman Hasan bahwasanya
tidak ada seorangpun filosof Islam kecuali al-Kindi, karena baginya ia
merupakan seorang filosof pertama dalam Islam begitu juga merupakan filosof
Arab pertama. Dalam pengembangan filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah
Arestoteles. Hal itu bisa dibuktikan dari buku-buku filsafat yang dikarang oleh
al-Kindi lebih banyak mengarah pada buku-buku karangan Aristotales.
Yang mana pemikiran al-Kindi dalam
filsafat sendiri meliputi:
1) Talfiq,
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat.
2) Filsafat termasuk humaniora yang dicapai
filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang
menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan
hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
3) Jawaban
filsafat menunjukan ketidak-pastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau
perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi
jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
4) Filsafat
mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
5) Tentang
jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan
mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan
sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat
spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai
sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi
saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi
tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan
pemarah.
6) Moral,
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri
dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak
dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia.
7) Tentang
kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi
manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam
ghaib dan ketuhanan melalui wahyu. Oleh karena itu pengetahuan yang dicapai
oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya pula dapat
diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada
nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi
kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof.
B.
Saran
Kepada para
pembaca sekalian dianjurkan untuk dapat mendalami tentang pemikiran Al-Kindi
ini agar nantinya kita bisa memahami dan juga mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H.
Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat islam,Jakarta :CV. Ramadani, cet.I, 1970.
Hamdi, Ahmad
Zainul. TUJUH FILSUF MUSLIM PEMBUKA PINTU GERBANG FILSAFAT BARAT MODERN, Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2004
Tu'nas
Fuaidah, Makalah “KONSEP ETIKA (MORAL) MENURUT PARA FILOSOF MUSLIM”
Tim Kajian
Keislaman Nurul Ilmi, Buku Induk Terlengkap Agama Islam, Jakarta: Citra
Risalah, 2012
http://makalahtarbiyah7s.blogspot.com